Laman

  • Home
  • About me
  • My Books
  • My Bussines
  • Lovely Hafidz
  • Lovely Nabila

Senin, 23 Maret 2015

Metamorfosa Hijabku*




            Saya adalah anak sulung dari empat bersaudara, dengan dua adik perempuan dan satu adik laki-laki. Awal mula saya mengenal kerudung yaitu saat saya duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar (SD), tepatnya tahun 1994. Alhamdulillah ini bermula saat kedua orang tua saya diundang menunaikan ibadah haji tahun 1994. Saat itu Ibu saya belum berkerudung, tetapi mulai belajar pakai kerudung saat hendak berangkat haji. Sepulangnya Ibu dari berhaji, Alhamdulillah mulai membiasakan memakai kerudung meski saat itu masih berupa kain segiempat yang diikat segitiga sekedar menutupi rambut saja. Kadang juga terlihat menggunakan dalaman kerudung bulat yang kemudian ditutupi selendang dan dipercantik dengan bros. Damai saya melihat penampilan baru Ibu. Terlihat santun, cantik dan anggun.

            Tak lama kemudian, Ibu mulai menyuruh saya untuk belajar menggunakan kerudung. Respon pertama saya saat itu? Marah dan kesal!. Ya, tahun 1994 jumlah wanita yang memilih berkerudung tidak sebanyak sekarang. Menurut saya, hanya Ibu-Ibu dan nenek-nenek saja yang pantas dan harus berkerudung. Peraturan ini tidak boleh berlaku buat anak-anak dan remaja yang sedang bertumbuh dan menikmati masa mudanya. Saya benar-benar menentang keras nasehat dan perintah Ibu saya. “Pokoknya saya tidak mau berkerudung, titik”, begitu ultimatum saya dihadapan Ibu. Dampaknya hubungan saya dan Ibu meregang. Ditambah satu momen yang berharga dan selalu saya ingat sampai sekarang. 

            Kisah ini bermula saat Ibu terus memaksa saya untuk berkerudung dan selalu berhasil saya tolak. Hingga suatu hari Ibu menyuruh saya memakai kerudung dengan ancaman akan menggunduli rambut saya. Saya tidak terlalu memperdulikannya. Ibu menyiapkan kerudung yang harus saya pakai. Sebuah kerudung segitiga yang bertali dan tinggal dililit menutupi kepala dan sebagian dada. Ibu benar-benar marah dan mengancam saya. Saya terpaksa memakainya dengan berat hati.  

            Awal memakai kerudung, saya merasa risih, panas, gatal dan aneh. Ya, sepanjang perjalanan ke sekolah dan tiba di sekolah semua mata memandang ke arah kerudung biru itu. Saat itu seragam SD yang saya pakai masih berlengan pendek dengan rok merah selutut. Saya merasa jadi mahluk teraneh di sekolah itu. Hanya saya satu-satunya yang pakai kerudung di lingkungan komplek SD saya. Semua mendatangi saya menanyakan benda apa yang menempel di kepala saya itu. Duh rasanya malu sekali dan ingin kabur sekolah saat itu juga. Saya tidak berani keluar kelas dan hanya duduk menundukkan kepala saya di meja. Hilang keceriaan saya dan malas mengobrol dengan teman-teman. Saya benar-benar ketakutan kehilangan teman-teman saya. Ingin rasanya menangis, tapi berusaha saya tahan. 

            Saat bel sekolah tanda pelajaran terakhir berbunyi, saya mulai buru-buru membereskan tas dan segera lari pulang tanpa memperdulikan ajakan teman untuk pulang bersama. Pikiran saya hanya satu, ingin cepat sampai di rumah dan mencopot kerudung aneh ini. Saya segera mencari Ibu dan mengatakan kalau besok saya tidak mau berkerudung lagi. Ibu marah besar karena tidak mau mendengarkan nasehatnya. Ibu lalu beranjak mengambil gunting dan menyuruh saya duduk untuk digunting rambutnya. Saya segera berlari ke kamar dan berteriak serta memohon Ibu tidak menggunduli rambut saya. Membayangkannya saja sudah membuat saya ingin menangis. Ibu memarahi saya sambil berkata kalau rambut saya gundul pasti saya malu dan mau tidak mau pakai kerudung untuk menutupinya. 

            Ibu memukuli saya dengan kemoceng dan berhasil memotong rambut saya hingga tak beraturan bentuknya. Ini adalah kejadian traumatis buat saya. Tak bisa saya lupakan hingga sampai sekarang. Saya menangis dan mengurung diri di kamar. Hampa dan sepi. Saya sangat membenci Ibu saat itu. Entah apa yang di pikiran Ibu, mengapa tega berbuat demikian dengan anak kandungnya. Malamnya saya pergi ke rumah om dan tante saya yang berada di atas rumah saya. Sambil menangis saya ceritakan semuanya. Om dan tante merasa kasihan pada saya. Om segera menawarkan diri untuk merapikan rambut saya karena terbiasa mencukur rambut anak-anaknya. Setelah selesai, saya berkaca. Rambut saya sekarang pendek meski tidak seperti potongan laki-laki. Saya sedikit terhibur. Setelah itu kembali ke kamar lagi.

            Keesokan harinya saya berangkat sekolah menggunakan topi sekolah yang berwarna merah. Terlihat mata saya yang sembab, tapi saya tidak pernah menceritakan kisah ini pada teman-teman saya. Mereka hanya memuji kalau rambut saya bagus dan terlihat lebih cantik. Saya hanya tersenyum menahan luka di hati. Ini adalah tahun terakhir saya duduk di kelas 6 SD. Tidak lama kemudian saya ujian kelulusan dan harus melanjutkan SMP. Kedua orang tua menyuruh saya sekolah di pesantren agar mendapatkan bekal ilmu agama yang cukup dan mau berkerudung. Meski awalnya menolak, saya harus menerimanya. Saya sebenarnya sempat terpikir untuk hidup mandiri dan jauh dari orang tua karena setelah peristiwa itu hati saya masih terluka. 

            Kedua orang tua saya memasukkan saya ke sekolah Khadijah Surabaya dan memasukkan ke asrama juga. Meski terluka, saat mereka pulang ke rumah dan meninggalkan sendiri di asrama, saya merasa kehilangan juga. Saya benar-benar harus beradaptasi di asrama putri dan sekolah yang semua murid perempuannya berkerudung. Sedikit demi sedikit, saya mulai menerima kerudung ini. Saya tidak merasa aneh lagi karena saya tidak sendiri. Disekolah itu, saya banyak menimba ilmu agama seperti bahasa Arab, Sejarah Islam (tarikh), Ilmu Fiqh dan lainnya. Teman-teman asrama dan sekolah bagaikan keluarga juga saudara bagi saya. Kami merasa sejiwa dan seiman. Benar kata guru-guru disana kalau berkerudung itu adalah kewajiban muslimah yang Allah perintahkan di Surat An-Nuur ayat 31,“...dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya...”. Secara sadar saya menerimanya dengan sepenuh hati karena Allah yang menyuruhnya dan Allah akan menjaga kemuliaan muslimah lewat kerudung ini. 

            Saya menyadari bahwa Ibu tidak sepenuhnya salah menyuruh saya berkerudung, hanya saja Ibu harus melakukan pendekatan yang memotivasi saya terlebih dahulu. Setelah peristiwa pemotongan rambut dan masuknya saya di asrama, Ibu menyesal dengan tindakannya tersebut. Jarak yang terpisah antara Madiun dan Surabaya membuat hubungan saya dan Ibu kembali menghangat. Apalagi saya banyak belajar akan arti pentingnya kedua orang tua saat terpisah jauh di asrama. Saya selalu merindukan kehadiran Ibu. Saya sudah memaafkan Ibu yang memotong rambut saya dan mencoba mendoakan agar Allah senantiasa menuntun Ibu menjadi muslimah yang dekat dengan Allah. Doaku terkabul, Ibu semakin sempurna menutup auratnya dengan kerudung panjang. Adikku sekolah di MTS Madiun dan menggunakan kerudungnya setiap hari. Adik tidak merasa berat karena Ibu selalu memotivasi dan melakukan pendekatan yang penuh kasih sayang. Kami semua berproses menjadi lebih baik. Alhamdulillah, kami sangat mensyukurinya. Banyak hikmah yang kami petik dari perjalanan hidup kami yang berharga ini.  

            Sejak saat itu saya tidak pernah melepaskan kerudung saya kemanapun. Meski waktu saya sekolah SMP dan SMU di sekolah negeri Kalimantan Timur yang belum banyak murid perempuannya yang pakai kerudung, saya tetap teguh memakainya. Ibu menjahitkan seragamku dan memberikan saya kerudung yang serasi. Saat hendak ujian EBTANAS SMU dimana siwa yang berkerudung dipersulit mengikuti ujian jika bersedia melepas kerudungnya untuk foto di ijazah. Alhamdulillah kedua orang tua saya siap membela dan mendampingi saya. Setelah melobi dan menyampaikan baik-baik beserta orang tua lainnya yang anaknya menggunakan kerudung di hadapan kepala sekolah dan guru SMU. Alhamdulillah berkat pertolongan Allah, mereka mengizinkan kami untuk mengambil foto ijazah kami dengan kerudung ini. 

            Saat kuliah di Malang, saya mengikuti banyak kajian keislaman di kampus. Disana saya menyadari bahwa meski berkerudung saya masih menggunakan celana jeans dan kaos yang membentuk lekuk tubuh saya. Guru ngaji saya mulai menasehati saya dengan penuh kasih sayang. Alhamdulillah, saya dengan senang hati mengganti celana jeans dan kaos ketat dengan rok dan baju panjang serta kerudung panjang yang menutupi hampir pinggang saya. Semua membutuhkan proses yang sangat panjang dan saya menikmati hikmah di setiap peristiwa hidup saya. Bersyukur sekali dengan jalan hidup yang Allah tentukan buat saya. 

            Setelah menikah, saya diminta suami untuk menyempurnakan lagi penampilan saya dengan menggunakan kerudung untuk menutupi dada serta jilbab berupa gamis panjang yang menutupi seluruh aurat saya. Suami menyampaikan nasehatnya dengan memberikan saya surat cinta dari Allah di Surat Al-Ahzab ayat 59. Bunyi surat itu adalah “Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri kaum mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. “Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

            Saya bersyukur memiliki suami yang penyayang dan selalu mengkaji Islam bersama keluarganya. Saya makin memantapkan untuk memakai kerudung dan jilbab hingga saya merantau menemani suami sekolah ke Korea Selatan. Di sini saya tampak asing dan ghuroba, karena menggunakan kerudung dan jilbab di tengah-tengah perempuan Korea yang terbiasa membuka auratnya di depan umum. Alhamdulillah putri saya yang sudah saya biasakan menggunakan kerudung sejak usia 1 tahun, sangat mencintai kerudungnya di Korea. Meski sering dijauhi teman-temannya karena menggunakan kerudung dan sering diminta gurunya untuk melepas kerudung saat musim panas tiba, tak pernah mau dia melepaskannya. 

            Saya pernah berpesan kepadanya : “panasnya summer itu belum seberapa nabila, jika dibandingkan panasnya api neraka. Allah sayang sama anak yang selalu pakai kerudung dan menyiapkan rumah serta apapun yang nabila suka di Surga sebagai hadiahnya“.  Dia semakin semangat untuk terus menggunakan kerudung meski saya tahu pasti dia kepanasan. Alhamdulillah, saya melihat kebiasaan mengenalkan nabila menutup aurat sejak bayi, membuat dia bangga dan percaya diri dengan identitas keislamannya. Dia merasa kerudung itu sudah melekat dalam dirinya. Saya bersyukur dengan keistiqomahan Nabila menggunakan kerudung meski tidak ada saya di sampingnya. Semoga kelak ketika dia tumbuh menjadi muslimah, akan tetap istiqomah dengan kerudung dan jilbabnya. Aamiin

* Tulisan ini bisa ditemukan di dalam Buku "Ini aku, Untuk-Mu"
Pemesanan bisa melalui Mas Zulfikar : 0852-5076-7076




Cover Buku Ini aku, Untuk-Mu
 

1 komentar:

  1. Assalamualaikum Ukhti Shinta..., saya baca postingan ukhti dari madiun yah.. saya juga,..kalau pulang madiun hyuks ketemuan. pengen menimba ilmu sama ukhti. semoga Allah memberikan kesempatanNYA. Amin Ya Robb.... Salam, -Diana-

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...